Senin, 18 Oktober 2010

PANDANGAN AL-QURAN TENTANG MASYARAKAT

MASYARAKAT
 
Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu --kecil atau
besar-- yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas,
dan  hidup  bersama.  Demikian   satu   dari   sekian   banyak
definisinya.  Ada  beberapa kata yang digunakan Al-Quran untuk
menunjuk kepada masyarakat atau kumpulan manusia. Antara lain:
qawm, ummah, syu'ub, dan qabail. Di samping itu, Al-Quran juga
memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu, seperti
al-mala', al-mustakbirun, al-mustadh'afun, dan lain-lain.
 
Walaupun Al-Quran bukan kitab ilmiah --dalam pengertian umum--
namun  Kitab  Suci  ini  banyak   sekali   berbicara   tentang
masyarakat.  Ini disebabkan karena fungsi utama Kitab Suci ini
adalah mendorong lahirnya  perubahan-perubahan  positif  dalam
masyarakat,  atau  dalam  istilah  Al-Quran: litukhrija an-nas
minazh-zhulumati ilan nur  (mengeluarkan  manusia  dari  gelap
gulita  menuju  cahaya  terang  benderang). Dengan alasan yang
sama,  dapat  dipahami  mengapa  Kitab  Suci  umat  Islam  ini
memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan
bangun runtuhnya suatu  masyarakat.  Bahkan  tidak  berlebihan
jika  dikatakan  bahwa  Al-Quran  merupakan  buku pertama yang
memperkenalkan hukum-hukum kemasyarakatan.
 
Manusia adalah "makhluk sosial". Ayat kedua dari wahyu pertama
yang diterima Nabi Muhammad Saw., dapat dipahami sebagai salah
satu ayat yang menjelaskan hal tersebut.  Khalaqal  insan  min
'alaq  bukan  saja diartikan sebagai "menciptakan manusia dari
segumpal  darah"  atau  "sesuatu  yang  berdempet  di  dinding
rahim", tetapi juga dapat dipahami sebagai "diciptakan dinding
dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain  atau  tidak
dapat hidup sendiri." Ayat lain dalam konteks ini adalah surat
Al-Hujurat  ayat  13.  Dalam  ayat   tersebut   secara   tegas
dinyatakan  bahwa  manusia  diciptakan terdiri dari lelaki dan
perempuan,  bersuku-suku  dan  berbangsa-bangsa,  agar  mereka
saling   mengenal.  Dengan  demikian  dapat  dikatakan  bahwa,
menurut Al-Quran, manusia secara fitri adalah  makhluk  sosial
dan   hidup  bermasyarakat  merupakan  satu  keniscayaan  bagi
mereka.
 
Tingkat  kecerdasan,  kemampuan,  dan  status  sosial  manusia
menurut Al-Quran berbeda-beda:
 
     Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
     yang membagi antara mereka penghidupan mereka dalam
     kehidupan dunia ini. Dan Kami telah meninggikan
     sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
     tingkat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
     sebagian yang lain, dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari
     apa yang mereka kumpulkan (0S Al-Zukhruf [43]: 32).
 
Seperti  terbaca   di   atas,   perbedaan-perbedaan   tersebut
bertujuan  agar  mereka  saling  memanfaatkan (sebagian mereka
dapat memperoleh manfaat dari  sebagian  yang  lain)  sehingga
dengan   demikian   semua  saling  membutuhkan  dan  cenderung
berhubungan dengan yang lain. Ayat ini, di samping  menekankan
kehidupan   bersama,   juga   sekali   lagi  menekankan  bahwa
bermasyarakat adalah sesuatu yang lahir  dari  naluri  alamiah
masing-masing manusia.
 
CIRI KHAS SETIAP MASYARAKAT
 
Setiap masyarakat mempunyai ciri khas dan pandangan  hidupnya.
Mereka  melangkah  berdasarkan kesadaran tentang hal tersebut.
Inilah yang melahirkan watak  dan  kepribadiannya  yang  khas.
Dalam hal ini, Al-Quran menyatakan:
 
     Demikianlah, Kami jadikan indah (di mata) setiap
     masyarakat perbuatan mereka (QS A1-An'am [6]: 108).
 
Suasana kemasyarakatan  dengan  sistem  nilai  yang  dianutnya
mempengaruhi  sikap  dan  cara  pandang  masyarakat  itu. Jika
sistem nilai atau pandangan mereka terbatas pada "kini dan  di
sini"  maka upaya dan ambisinya menjadi terbatas pada kini dan
di sini pula. Allah menjanjikan masyarakat ini --bila memenuhi
sunnatullah--   akan   mencapai  sukses,  tetapi  sukses  yang
terbatas pada "kini dan di sini" dan setelah itu, mereka  akan
jenuh, mandek, akibat rutinitas, kemudian menemui ajalnya. Ini
dikemukakan Al-Quran dalam surat Al-Isra' ayat 18.
 
     Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi)
     maka Kami segerakan baginya sekarang (di dunia) ini,
     apa yang Kami kehendaki bagi yang Kami kehendaki,
     kemudian Kami tentukan baginya neraka Jahannam. Ia akan
     memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.
 
Al-Quran menekankan  kebersamaan  anggota  masyarakat  seperti
gagasan  sejarah  bersama,  tujuan  bersama, catatan perbuatan
bersama, bahkan kebangkitan, dan kematian bersama.  Dari  sini
lahir gagasan amar ma'ruf dan nahi munkar, serta konsep fardhu
kifayah dalam arti semua anggota masyarakat memikul dosa  bila
sebagian mereka tidak melaksanakan kewajiban tertentu.
 
Meskipun  Al-Quran  menisbahkan watak, kepribadian, kesadaran,
kehidupan dan kematian kepada masyarakat, namun Al-Quran tetap
mengakui peranan individu, agar setiap orang bertanggung jawab
atas  diri  dan  masyarakatnya.  Banyak   sekali   kisah-kisah
Al-Quran  yang  menguraikan  penampilan  satu  individu  untuk
membangun   masyarakatnya   atau    menentang    kebejatannya.
Keberhasilan  mereka pun berdasarkan satu hukum kemasyarakatan
yang pasti.
 
HUKUM-HUKUM KEMASYARAKATAN
 
Al-Quran sarat dengan uraian tentang hukum-hukum yang mengatur
lahir,  tumbuh,  dan  runtuhnya  suatu masyarakat. Sebagian di
antaranya telah disinggung di  atas.  Hukum-hukum  itu  --dari
segi  kepastiannya--  tidak  berbeda  dengan hukum-hukum alam.
Hukum-hukum  itu  dinamai  oleh  Al-Quran   sunnatullah,   dan
berulang kali dinyatakannya:
 
     Engkau tidak akan mendapatkan perubahan terhadap
     sunnatullah (QS Al-Ahzab [33]: 62).
 
Salah satu hukum kemasyarakatan yang amat  populer  --walaupun
sering  diterjemahkan  dan  dipahami  secara  keliru--  adalah
firman Allah yang berbicara tentang hukum perubahan
 
     Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang
     terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat),
     sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri
     (sikap mental) mereka (QS Ar-Ra'd [13]: 11).
 
Dalam buku penulis, "Membumikan" Al-Quran, dikemukakan bahwa:
 
     Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan
     dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang
     pelakunya adalah Allah, dan kedua perubahan keadaan
     diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah
     manusia. Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara
     pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang
     ditetapkan-Nya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih
     kasih atau membedakan antara satu masyarakat/kelompok
     dengan masyarakat/kelompok lain ...
 
Ma bi anfusihim yang diterjemahkan dengan "apa  yang  terdapat
dalam  diri  mereka",  terdiri  dari  dua  unsur  pokok, yaitu
nilai-nilai  yang  dihayati  dan  iradah  (kehendak)  manusia.
Perpaduan   keduanya   menciptakan   kekuatan  pendorong  guna
melakukan sesuatu.
 
Ayat di atas berbicara tentang manusia dalam keutuhannya,  dan
dalam  kedudukannya  sebagai  kelompok,  bukan  sebagai  wujud
individual. Dipahami demikian, karena pengganti nama pada kata
anfusihim    (diri-diri    mereka)    tertuju    kepada   qawm
(kelompok/masyarakat). Ini berarti bahwa seseorang,  betapapun
hebatnya,  tidak dapat melakukan perubahan, kecuali setelah ia
mampu mengalirkan arus perubahan kepada sekian  banyak  orang,
yang  pada  gilirannya  menghasilkan  gelombang,  atau  paling
sedikit riak-riak perubahan dalam masyarakat.
 
Pentingnya keterkaitan antara pribadi  dan  masyarakat,  serta
besarnya      perhatian     Al-Quran     terhadap     lahirnya
perubahan-perubahan  positif,  mengantar  kepada   berulangnya
ayat-ayatnya  yang  menekankan  tanggung  jawab perorangan dan
tanggung jawab kolektif.
 
     Tidak ada satu makhluk (berakal) pun di langit dan di
     bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah
     sebagai hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan
     jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan
     gang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada
     Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri (QS
     Maryam [19]: 93-95).
 
Ayat di atas adalah  satu  dari  sekian  ayat  yang  berbicara
tentang  tanggungjawab pribadi. Namun di samping itu, terdapat
sekian ayat yang berbicara tentang  tanggung  jawab  kolektif,
seperti dalam surat Al-Jatsiyah (45): 28,
 
     (Di hari kemudian) kamu akan melihat setiap umat/
     masyarakat bertekuk lutut, setiap masyarakat diajak
     untuk membaca kitab amalnya ...
 
Al-Quran  juga  menginformasikan   bahwa   setiap   masyarakat
mempunyai usia:
 
     Setiap masyarakat mempunyai ajal (QS Al-A'raf [7]:
     34).
 
Kedua ayat di atas tidak berbicara  tentang  ajal  perorangan,
tetapi ajal masyarakat. Lengah akan adanya usia atau ajal bagi
setiap   masyarakat,   dapat   mengantar   kepada   kekeliruan
penafsiran.
 
Dalam   Al-Quran   dan   Terjemahnya  yang  disusun  oleh  Tim
Departemen Agama, ditemukan komentar menyangkut ayat 76  surat
Al-Isra':
 
     Sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu
     gelisah di negeri (Makkah) untuk mengusirmu dari sana,
     dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu
     mereka tidak tinggal melainkan sebentar saja.
 
Komentarnya adalah: "Kalau sampai terjadi Nabi Muhammad diusir
oleh  penduduk Makkah, niscaya mereka tidak akan lama hidup di
dunia, dan Allah segera akan membinasakan mereka. Hijrah  Nabi
ke  Madinah  bukan  karena  pengusiran kaum Quraisy, melainkan
semata-mata karena perintah Allah." Komentar ini sangat  sulit
diterima,  karena  Al-Quran  sendiri  secara  tegas menyatakan
bahwa Rasulullah Saw. diusir dari Makkah,
 
     Jikalau kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad Saw.)
     maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika
     orang-orang kafir (musyrik Makkah) mengeluarkannya
     (mengusirnya) dari Makkah ... (QS Al-Tawbah [9]: 40)
 
Menurut pendapat penulis, ayat 76  di  atas  justru  berbicara
tentang  salah  satu  hukum kemasyarakatan, yaitu apabila satu
kelompok masyarakat telah mencapai puncak  kebejatannya,  maka
mereka  sebagai  satu  kelompok  (bukan orang per orang) tidak
lama lagi akan mengalami kebinasaan. Dalam kasus Nabi Muhammad
Saw.,  puncak  kebejatan  itu adalah usaha untuk membunuh Nabi
dan pengusiran dari Makkah, sehingga seperti bunyi ayat, tidak
lama  sesudah  itu  --yakni sekitar sepuluh tahun-- masyarakat
kaum musyrik di Makkah sampai kepada ajalnya.
 
Kehancuran satu masyarakat --atau dengan kata lain:  kehadiran
ajalnya-- tidak secara otomatis mengakibatkan kematian seluruh
penduduknya, bahkan boleh jadi mereka semua secara  individual
tetap  hidup.  Namun,  kekuasaan, pandangan, dan kebijaksanaan
masyarakat   berubah   total,   digantikan   oleh   kekuasaan,
pandangan, dan kebijaksanaan yang berbeda dengan sebelumnya.
 
Demikianlah  gambaran  singkat  tentang  beberapa  aspek dari
sekian  banyak  aspek  yang   dikemukakan   Al-Quran   tentang
masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar