Senin, 18 Oktober 2010

USHUL FIQHIH KAIDAH ALTERNATIF




A. Pengantar
Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa
cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola
bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi
klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan
sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk
mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi
yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan
sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan
universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris.
Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks
umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali
menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. [1]
Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di
dalam menyulih bahkan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam
Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara
akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara
penundukan terhadap akal publik. [2] Metodologi klasik kurang hirau terhadap
kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat
manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang
ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) [3]
Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi
lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak
berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara
pemecahan problem.
Dalam pandangan ushul fikih lama, teks telah dipandang sebagai manifestasi
dari keseluruhan kebenaran dan dengan demikian menjadi “dasar’ dalam mengukur
segala persoalan menyangkut hal-ihwal perbuatan manusia. Dengan ungkapan lain,
teks ajaran adalah wujud tunggal dari “kebenaran mutlak” yang mesti dipedomani,
meminjam istilah para penatar P4 dulu, secara murni dan konsekuen. Tendensi untuk
bergeser dari makna harfiyah teks, meskipun sedikit saja, terlebih melampirkan
2
pertimbangan lain di luar ketentuan bunyi teks ajaran dipandang sebagai sebuah
skandal dan kejahatan teologis yang tak terampuni. Selanjutnya, jika terjadi sengketa
antara teks verbal dalam kitab suci dengan realitas, maka solusi yang disuguhkan kaum
ortodoks adalah dengan menaklukkan realitas di bawah kontrol teks ajaran. Teks bagi
mereka merupakan sumber kebenaran par excellence.
Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti
mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud
untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontologisepistemologis
tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya
produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang
terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada
tingkat pemecahan problem, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya.
Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam
ushul fikih ini akan berkoresponden dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan
kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia.
B. Maqashid al-Syari’ah, Sumber Segala Sumber Hukum
Dalam paradigma ushul fikih klasik selalu dinyatakan bahwa sumber hukum
paling pokok (mashadir ashliyah asasiyah) dalam Islam secara hirarkis hanya ada
empat, yaitu al-Qur`an, hadits, ijma’ (konsensus) dan qiyas (analogi). Sementara
mashalat mursalah, istihsan, syar’u man qablana (syari’at umat atau nabi-nabi
terdahulu), ‘urf (tradisi, kebiasaan), dan yang lain-lain merupakan deretan sumber pada
level sekunder, atau disebut dengan mashadir taba’iyah. Tentu saja ini sebuah
kategori-kategori yang cerdas yang mesti mendapatkan apreasiasi dari umat Islam
yang datang kemudian.
Dengan ini, maka tampak dengan jelas bahwa al-Qur`an kemudian al-Hadits
menempati posisi sentral di dalam hirarki sumber-sumber hukum dalam Islam. Segala
jenis tindakan dan kegiatan harus selalu berada dalam kendali dan kontrol al-Qur`an
dan al-Sunnah. Bahkan, sejarah masa kini dan yang akan datang sekalipun harus juga
berada dalam ruang penaklukan kitab al-Qur`an dan al-Sunnah, kitab mana telah hadir
ribuan tahun yang lalu itu. Ini, di samping karena (terutama) al-Qur`an telah diimani
sebagai kitab wahyu dari Allah SWT, juga karena diyakini bahwa al-Qur`an memiliki
daya jangkau yang meliputi masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Indikator yang
dengan utuh menggambarkan tesis lama ini adalah ungkapan al-Syafi’ie “ la tanzilu bi
3
ahadin min ahli dini Allah nazilatun illa wa fiy kitab Alla al-dalil ‘ala sabil al-huda
fiha”.1
Lepas dari itu, tidak bisa diingkari bahwa telah terjadi sejumlah paradoks di
dalam al-Qur`an, yang diklaim sebagai poros dari seluruh dalil yang lain. Paradoks
bukan hanya antara satu ladfz dan lafdz yang lain, melainkan juga antara satu gagasan
dengan gagasan yang lain dalam al-Qur`an. Harus diakui, penyelesaian terhadap
paradoks lafdzdiyah sudah banyak dilakukan oleh ushul fikih klasik. Bahwa, ketika
terjadi ta’arudh antara satu lafdz dan lafdz yang lain, maka yang mesti dilihat oleh
seorang mujtahid adalah model, karakter dari lafdz yang membentuk ayat-ayat itu.
Apakah lafzd ayat itu dikemukakan dengan lafdz ‘am, mutlak, dan mujmal? Atau
justru dengan menggunakan lafadz khash, muqayyad, mubayyan dan mansukh. Dari
sini maka dilakukanlah takhshish, taqyid, tabyin, hingga nasakh. Melalui penanganan
lafdziyah inilah, menurut ushul fikih klasik, maqashid al-syari’ah dapat ditemukan.2
Penyelesaian metodologis a la ushul fikih klasik itu luar biasa canggih dan detil.
Akan tetapi, penanganan terhadap paradoks yang bersifat isu dan gagasan
belum banyak dilakukan. Misalnya, gagasan pluralisme agama dalam al-Qur`an.
Betapa, dalam satu spektrum, pluralisme qur`anik diungkapkan melalui janji
penyelamatan terhadap orang-orang yang beragama selain agama Islam (QS, al-
Baqarah [2]: 62). Sementara pada spektrum yang lain, absolutisme Islam juga
terpampang dengan tegas dalam al-Qur`an. Kontradiksi nyata antara beberapa ayat al-
Qur`an yang mengakui sumber-sumber penyelamatan otentik lainnya di satu sisi dan
ayat-ayat lain yang menyatakan Islam sebagai satu-satunya sumber penyelamatan di
sisi yang lain harus diatasi untuk memungkinkan tegaknya sebuah tata kehidupan
berdampingan secara damai dengan umat agama lain.
Terus terang, tidak banyak para ulama dan cendekiawan Muslim yang memiliki
perhatian utama untuk coba menyelesaikan gagasan yang kontradiktif tersebut, baik
dengan cara memperbaharui penafsiran maupun dengan menyusun sebuah metodologi
pembacaan baru. Faktanya, hingga sekarang, sekelompok pemikir Islam yang concern
pada gagasan pluralisme agama biasanya hanya mengutip sejumlah ayat yang
mendukung pluralisme agama dan seringkali melakukan pengabaian bahkan terkesan
“lari” dari ayat-ayat yang menghambat jalan pendaratan pluralisme agama. Demikian
1Lihat al-Syafi’ie, al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hlm. 49.
2Per istilah, maqashid al-syari’ah yang berarti tujuan penetapan hukum ini dipopulerkan oleh
seorang ahli ushul fikih dari madzhab Maliki, Abu Ishaq al-Syathibi, terutama semenjak beredarnya
kitab al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah. Akan tetapi, dari sudut gagasan, sebenarnya poin-poin
maqasih al-syari’ah itu sudah pernah dikemukakan oleh ulama ushul fikih sebelumnya seperti al-
Juwaini Imam al-Haramain dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.
4
juga sebaliknya. Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari sudut pluralisme
agama, para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang secara literal jelas-jelas
mendukung pluralisme agama. Bahkan, para ulama kedua ini kerap meneriakkan
slogan-slogan panas berkaitan dengan eksistensi umat agama-agama lain.
Bertolak dari itu, maka saya hendak menawarkan sebuah gagasan perihal
hirarki sumber hukum dalam Islam. Pada hemat saya, maqashid al-syari’ah merupakan
sumber hukum pertama dalam Islam baru kemudian diikuti secara beriringian al-
Qur`an dan al-Sunnah. Maqashid al-syari’ah merupakan inti dari totalitas ajaran Islam.
Maqashid al-Syari’ah menempati posisi lebih tinggi dari ketentuan-ketentuan spesifik
al-Qur`an. Maqashid ini merupakan sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak
menjalankan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di masyarakat Arab. Maqashid alsyari’ah
adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari
al-Qur`an itu sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ada satu ketentuan baik di dalam al-
Qur`an maupun al-hadits yang bertentangan secara substantif terhadap maqashid alsyari’ah,
maka ketentuan tersebut mesti direformasi. Ketentuan tersebut harus batal
atau dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah.
Saya kira, maqashid al-Syariah itu bukan hanya digali melalui proses dialektik
antara umat Islam dengan teks al-Qur`an per se, melainkan juga sebagai hasil dari
dialog yang bersangkutan dengan hati nuraninya di satu pihak, dan interaksi mereka
dengan realitas kehidupan di pihak yang lain. Berinteraksi dengan realitas, berdialektik
dengan teks suci, dan dilanjutkan dengan dialog personal dengan hati nurani secara
terus-menerus oleh setiap anak manusia sepanjang masa kiranya akan melahirkan
suatu susunan dan konstruksi maqashid al-syari’ah yang universal. Maqashid al-
Syari’ah sejatinya telah bertebaran di setiap nurani umat manusia. Bukankah dengan
nuraninya, manusia sudah bisa membedakan antara perkara yang buruk dan yang
perkara yang baik. Perihal ini, Nabi SAW pernah mengatakan istafti qalbak (mintalah
petunjuk pada hati nuranimu). Pandangan Nabi ini kemudian mendapatkan
pengukuhan dari firman Allah Swt. “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha”. Inilah dalil
bahwa maqashid al-syari’ah bukan hanya berada di dalam lipatan teks-teks suci yang
tak bersuara, melainkan justeru terhunjam di kedalaman hati nurani manusia yang
syahdu.
Khazanah ushul fikih klasik telah merumuskan, maqashid al-syari’ah itu adalah
keadilan (al’adl), kemaslahatan (al-mashlahah), kesetaraan (al-musawah), hikmahkebijaksanaan
(al-hikmah), dan cintah kasih (al-rahmah), dan belakangan kemudian
ditambahkan dengan pluralisme (al-ta’addudiyah), hak asasi manusia (huquq alinsan),
dan kesetaraan gender. Al-Ghazali menyatakan bahwa maqashid al-syari’ah itu
adalah hak hidup (hifdz al-nafs aw al-hayah), hak beragama (hifdz al-din), hak untuk
5
berfikir (hifdz al-‘aql), hak untuk memiliki harta (hifdz al-mal), hak untuk
mempertahankan nama baik (hifdz al-‘irdh), dan hak untuk memiliki garis keturunan
(hifdz al-nasl). Menurut al-Ghazali, pada komitmen untuk melindungi hak-hak
kemanusiaan inilah, seluruh ketentuan hukum dalam Islam diacukan.3
C. Kaidah Ushul Fikih Alternatif
Dalam kaitan merancang ushul fikih baru, maka ada beberapa kaidah ushul
alternatif yang bisa diajukan, antara lain, adalah sebagai berikut:
1. al-‘Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz.
Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di
dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan
aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah
cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi
literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk
memahami konteks--tentu saja bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular
melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks
yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan
prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah.
Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan cerdas
bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang
memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat
Muslim yang menjadi sasaran pertama wahyu.4 Pengetahuan tentang konteks
(kontekstuliasasi) tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba
dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid
al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera
dilepaskan dari konteks kearabannya yang awal (disebut dengan dekontekstualisasi)
untuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar
Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi,
dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran
sepanjang masa.
Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang
berbunyi al-‘ibrah bi ‘umum al-lafadz la bi khushĂ»sh al-sabab. Yang berarti bahwa
3al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), Juz I, hlm. 26
4Al-Syathibi, al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Mushthafa Muhammad, Tanpa
tahun), Juz II, hlm.. 12.
6
yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab.5
Ini berarti, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada
pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk
merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi
‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka
makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid
dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah.6
Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya,
pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan
semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna
kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang
membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh
yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari
kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka
semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam
memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan.
Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke
dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi
5Menyangkut kaidah ini, al-Suyuthi memberikan alasan bahwa itulah yang telah dilakukan oleh
para sahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan, kata al-Suyuthi, dari antara lain ketika turun ayat
zhihar dalam kasus Salman ibn Shakhar, ayat li’an dalam perkara Hilal ibn Umaiyah dan ayat qadzf
dalam kasus tuduhan terhadap A’isyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut ternyata juga dapat
diterapkan terhadap peristiwa lain yang serupa. Lihat Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Itqan fiy Ulum al-
Qur`an, (Kairo: 1974), hlm. 110.
Zamahsyari dalam penafsiran surat al-Humazah mengatakan bahwa boleh jadi surat ini turun
karena sebab khusus, tetapi ancaman hukuman yang termuat di dalamnya jelas berlaku umum,
mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibnu Abbas pun mengatakan bahwa
ayat 5:38 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian. Lihat
Zamahsyari, al-Kasysyaf, (Kairo: 1970), Juz I, hlm. 450.
Ibnu Tayimiyah juga berpendapat demikian, bahwa banyak ayat-ayat yang diturunkan
berkenaan dengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang kemudian
dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya, surat 5:49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili
secara adil sebenarnya diturunkan untuk kasus Bani Quraydhah dan Bani Nadhir. Namun, kata Ibnu
Taymiyah tidak benar jika lalu dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya untuk berlaku adil
terhadap kedua kabilah itu. Lihat al-Suyuthi, al-Itqan…, hlm. 112.
Muhammad Abduh dalam hal ini juga memiliki sikap yang sama, yaitu menekankan
universalitas al-Qur`an, karena menurutnya al-Qur`an adalah kitab kemanusiaan yang kekal, pelita
hidayah dan petunjuk kepada kebenaran dan sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Lihat
Abdullah Mahmud Syathahah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fiy Tafsir al-Qur`an al-Karim,
(Kairo: 1963), hlm. 48.
6Nahr Hamid Abu Zaid, al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafiy al-
‘Araby, 1997, hlm. 155
7
mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam
posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai
kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak berhinggan kebenaran huruf
(shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu
kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar.
Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz)
seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkammutasyabih,
qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks
semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai
penyembah kata (‘ubbad al-alfadz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’bad
(patung yang disembah).
Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja
tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah)
yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang
terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di
dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan
adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan
yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang
melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan
pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab,
keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan
kreativitas dalam pencarian makna obyektif.
[2] Jawaz Naskh al-Nushush (al-Juz`iyyah) bi al-Mashlahah
Sesungguhnya syari’at (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali
untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan
menolak segala bentuk kemafsadatan (dar`u al-mafasid). Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah,
seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, menyimpulkan bahwa syari’at Islam
dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang
lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (al-hikmah).
Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan hukum.
Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus
hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum
Islam.7
7
Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jil, Tanpa Tahun),
juz III, hlm. 3. Pandangan ini juga dikemukakan oleh para pemikir terkemuka al-Ghazali (w. 505
8
Persoalannya, jika acuan hukum adalah kemaslahatan, maka siapa yang berhak
mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk merumuskannya. Untuk
menjawabnya, perlu kiranya dibedakan antara kemaslahatan yang bersifat individualsubyektif
dengan kemashlahatan yang bersifat sosial-obyektif. Yang pertama adalah
kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang per orang yang bersifat
independen, terpisah dengan kepentingan orang lain. Karena sifatnya yang subyektif,
maka yang berhak menentukan maslahat dan tidaknya adalah pribadi yang
bersangkutan. Sedang kemaslahatan yang bersifat sosial-obyektif adalah kemaslahatan
yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, maka otoritas yang
memberikan penilaian adalah orang banyak juga melalui mekanisme syura untuk
mencapai kesepakatan (ijma’). Dan sesuatu yang telah menjadi konsensus dari proses
pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hukum tertinggi yang mengikat
kita. Di sinilah pemecahan masalah bersama cukup menentukan. Al-Qur`an
mengatakan, urusan mereka dimusyawarahkan (dibicarakan dan diputuskan) bersama
di antara mereka sendiri. (QS: al-Syura, 38).
Selanjutnya, terdapat satu pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika
terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan?
Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan
bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak
mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan
oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang
diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara
kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan
hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan
menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan
mengimaninya secara sepenuh hati.
Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas.
Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan
legal spesifik teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi
al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan
H./1111 M.), Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H.) , Izz al-Din Ibn ‘Abd al-Salam (w. 660 H.), Najm al-Din
al-Thufi (w. 716 H.), Ibnu Taymiyah (w. 728 H.), Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H.), hingga
Muhammad bin al-Tahir bin ‘Asyur (w. 1393 H./1973 M.) dan lain-lain. Mereka sepakat bahwa
sesungguhnya syari’at Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan
kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar`u al-mafasid).
Sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa bahwa syari’at Islam dibangun demi kebahagiaan (sa’adah)
manusia baik di dunia maupun di akhirat (ma’asy wa ma’ad), sepenuhnya mencerminkan kemaslahatan
tadi.
9
amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa
teks yang sudah aus dan irrelevan. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan
senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi teks keagamaan baru di tengah
kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.
Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan
terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua
pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang
tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya
berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, melainkan
juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa
syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali
oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi.
Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat
dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu
yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat
saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat,
kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan
aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya
yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min
al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung
dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt.8
Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia,
kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita
kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari
setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang
perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan,
melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan
demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama altakalif
kulluha raji’atun ila mashalih al-‘ibad” [seluruh ketentuan agama diarahkan
untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia].9
8Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal aw
Wujub al-Nadhar al-‘Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1999,
hlm. 125.
9Izz ibn Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fiy Mashalih al-Anam, (Beirur: Dar al-Jil, Tanpa
Tahun), Juz II hlm. 72.
10
Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama--meminjam
bahasa Ibnu al-Muqaffa’ sebagaimana dikutip oleh Adonis10--yang ushul dengan
demikian tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita
kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang fushul sehingga bisa berubahberubah
mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban). Sebagai yang ushul, teksteks
agama yang demikian tidak boleh diubah dan dianulir.
Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa
nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsipprinsip
ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi
pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan
kedudukan paling tinggi (al-ayat al-‘ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau
ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa
dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini,
seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl” [apabila kamu
memberikan putusan hukum di antara umat manusia, maka putuskan dengan penuh
keadilan], “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa” [berbuat adillah karena keadilan itu lebih
dekat pada taqwa], dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja
berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan
dengan logika nasakh sendiri.
Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnisoperasional--
saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat alfuru’iyyat
atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk
hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan
sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh, sekiranya ayat tadi tidak
efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya,
nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak
lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam.
[3] Tanqih al-Nushush bi al-‘Aql al-Mujtama’ Yajuzu
Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk
mensortir sejumlah ketentuan “partikular” agama menyangkut perkara-perkara publik,
baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan
10Sebagaimana dikutip Adonis, Ibnu al-Muqaffa’ berpendapat bahwa al-Qur`an dibagi menjadi
dua bagian, yang ushul (yang pokok) dan yang fushul (yang spesifik). Sayangnya, demikian Ibnu al-
Muqaffa`, kebanyakan umat Islam lebih banyak mencari ayat-ayat yang fushul (partikular) dan
mengabaikan yang ushul (universal). Lihat Adonis, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fiy al-Ibda’ wa
al-Itba’ ‘inda al-‘Arab, Beirut: Dar al-Saqi, Juz II, hlm. 290
11
antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk
mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat
dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat ‘uqubat dan
hudud (seperti potong tangan, dan rajam), qishash, waris, dan sebagainya. Ayat-ayat
tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah
kemanusian, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian dari masalah yang harus
dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-‘aql, takhshish bi al-‘aql,
dan tabyin bi al-‘aql.
Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai
fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan
respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus
tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat
relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan
penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses
tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi
harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit
dan elan vital al-Qur`an.
Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal
budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk
bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan
keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan
menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini
dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam
merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang
publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak
memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar.
Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama.
Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang
klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah
kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya samasama
memposisikan akal hanya sebatas alat untuk membenarkan dan manakwil teks,
karena teks adalah pangkal atau asal yang absolut. Dengan demikian, tak ayal lagi jika
akal tidak bisa bergerak terlalu jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi
12
terhadap ayat-ayat tertentu dalam al-Qur`an dan al-Sunnah.11 Akal hanya berguna
untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan
Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih saja.
Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi
mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur
gramatika bahasanya.
Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai subordinat
dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu
begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan
bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai,
mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja
sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung
Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan
memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk.
Dengan agak sedikit Hegelian, manusia adalah subyek yang bisa menentukan sendiri
landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya. Manusia adalah subyek yang
akan terus bergerak ke depan dan bukan surut ke belakang.
Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Ia tidak
cukup hanya diperlakukan sebagai pengelola dan alat penafsir terhadap teks.
Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan
wewenang untuk mempertanyakan relevansi dan signifikansi ketentuan-ketentuan
spesifik-legal al-Qur`an. Bahkan, sekiranya dari data empiris diketahui secara pasti
ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal
publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik mempunyai
tanggungjawab moral-intelektual untuk mentanqih ayat-ayat cukup yang problematik.
D. Penutup
Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif
yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath
yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang
perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Bahkan,
bukan hanya kaidah-kaidah itu yang perlu direformasi, melainkan yang tidak kalah
pentingnya adalah terkait dengan mekanisme kerja ijma’, qiyas, istihsan, maslahat
11Di lingkungan Mu’tazilah, ayat-ayat al-Qur`an yang banyak ditangani dengan menggunakan
mekanisme takwil adalah sejumlah ayat yang dikenal dengan mutasyabihat. Mu’tazilah tidak berani
mempertanyakan ayat-ayat yang sudah dinyatakan sebagai ayat muhkamat atau qath’iyat.
13
mursalah, ‘urf dan lain-lain. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan
dan kemandulan metodologi ushul fiq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar